Senin, 17 November 2008

Hendra Setiawan,S.Com Trading













MENJADI INDONESIA

Pernahkan Anda bayangkan terlahir di Papua, berkulit hitam legam, berambut hitam keriting kriwil-kriwil kecil? Atau di ujung satunya dari Nusantara di pedalaman Aceh di tengah gerilyawan GAM. Atau di pedalaman Kalimantan di dalam sebuah suku Dayak di sana. Atau di pedalaman Jambi sebagai seorang suku Anak Dalam.

Lalu bayangkan begitu Anda mulai tumbuh dewasa dan berhubungan dengan dunia luar, dan dari mereka Anda tahu bahwa Anda terlahir di dalam sebuah wilayah negara bernama Indonesia, dan Anda dengan demikian adalah orang Indonesia. Bila Anda nonton TV, mereka berbicara dengan bahasa yang tidak Anda pakai sehari-hari. Mereka beragama tidak seperti yang Anda anut sehari-hari. Makanan mereka, tidak sama dengan yang Anda makan sehari-hari. Lalu mengapa Anda juga orang Indonesia seperti mereka. Apa artinya menjadi orang Indonesia bagi Anda?

Anda yang membaca tulisan ini sekarang mungkin tidak mengalami kejadian ini, karena Anda terlahir di Jakarta, atau paling tidak di Jawa, atau di daerah yang cukup "beradab" lainnya. Menjadi Indonesia adalah sebuah keseharian bagi Anda. Apa yang Anda lihat di TV tidak berbeda dengan pengalaman Anda. Apa yang Anda baca di koran tidak berbeda dengan apa yang Anda alami. Anda memang orang Indonesia. Di lain pihak, kita, yang sebagian besar memang hidup di Jawa dan berbahasa Indonesia pun sebenarnya seperti demikian. Kita bisa mempertanyakan mengapa kita terlahir sebagai orang Indonesia, bukan orang Jepang, orang Amerika, atau orang Inggris. Mengapa kita terlahir beragama Islam dan bukan beragama Buddha. Semuanya itu tidak kita minta melainkan terjadi begitu saja tanpa bisa memilih. Lalu apa artinya menjadi Indonesia jika kita tidak bisa memilih sama sekali?

Andaikan kita bisa memilih jangan-jangan kita akan memilih untuk terlahir sebagai bangsa lain. Mungkin ada yang ingin lahir di Brazil supaya bisa seperti Ronaldo, jadi jago bola sehingga bisa dikontrak Liga Eropa, tidak seperti Liga Indonesia yang masih jauh dari jelas. Atau terlahir di Austria yang semenjak muda sudah terpapar musik klasik sehingga bisa masuk konservatorium musik dan menjadi komponis terkenal. Atau lahir di Cina dan menjadi atlet bulutangkis berbakat dan dibina negara, tidak seperti PBSI di Indonesia yang nasibnya sudah tidak seperti era 70-an 80-an. Atau terlahir di Amerika supaya bisa kuliah di Harvard walaupun harus minjam uang dari negara untuk bayar kuliah.

Tapi tulisan ini tidak bermaksud ke sana. Yang ingin kutulis adalah, begitu Anda lahir di Indonesia, Anda terikat dengan hukum di Indonesia, tanpa Anda bisa memilih. Begitu Anda lahir di Indonesia, Anda tidak diberi ruang untuk memilih menjadi seorang ateis atau beragama Yahudi. Anda ada kemungkinan akan kena jaring Operasi Yustisi kalau berasal dari daerah dan pindah ke Jakarta tanpa KTP. Dan Anda mau tidak mau harus setuju dengan Pancasila dan UUD 45, padahal hal ini dirumuskan oleh orang-orang yang hidup puluhan tahun yang lalu, yang tidak punya ikatan apa-apa dengan Anda, apalagi kalau Anda terlahir sebagai orang Papua dan Aceh misalnya.

Apa artinya semua itu? Kita yang hidup di Indonesia ini (dan juga di sebagian besar negara lain) mau tidak mau terikat dengan ideologi dan konstitusi negara. Apakah kita bisa memilih yang lain. Tidak bisa, jadi happy or not, you've got to live with it.

Lalu bagaimana kalau seiring kita tumbuh dewasa, kita menjadi tidak setuju dengan apa yang sudah disepakati oleh bapak bangsa kita di jaman dulu, yang masih mengikat kita sampai sekarang, atau tidak sepakat dengan GBHN yang mengikat kita di jaman Orde Baru dulu, atau dengan UU Pornografi yang mau disahkan?

Di dalam sebuah negara modern demokratis, idealnya setiap warga negara bisa menentukan sendiri peraturan yang sesuai dengan dirinya. Tapi itu adalah idealisme demokrasi, demos kratos, pemerintahan oleh rakyat. Ideal seperti itu hanya ada dalam polis Yunani Kuno yang mungkin hanya bersisa di kanton-kanton di Swiss sekarang. Sebagian besar negara demokratis dijalankan dengan perwakilan. Idealnya setiap wakil dipilih secara demokratis (oleh rakyat secara langsung maksudnya) dan menjadi wakil mereka dalam membuat undang-undang yang sesuai dengan kehendak mereka. Namun dalam kenyataannya tidaklah seindah demikian.

Lalu apakah ini menjadi jalan buntu? Apakah negara dengan demikian menjadi tiran? Apakah dengan demikian tidak ada tempat bagi ideologi pribadi sehingga terserap ke dalam negara dan bila kita berpikiran lain kita akan dianggap subversif? Sepertinya kondisinya seperti demikian di saat ini, dan ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Di Amerika, terutama sesudah peristiwa 9/11, segala macam aktivitas politis yang tidak sesuai dengan mainstream akan diawasi dengan ketat. Di Eropa khususnya di negara sosial demokrat, umumnya kondisinya lebih bebas, meskipun sempat ada tendensi anti-Islam pasca 9/11. Secara umum, kondisi dunia sekarang relatif tidak sebebas Eropa pasca Revolusi Prancis, di mana hak-hak individu dijunjung tinggi, dan demokrasi sedang dalam masa bulan madunya.

*****

Lalu apa artinya menjadi Indonesia? Apakah kita harus menjadi seorang Pancasilais baru bisa disebut Indonesia. Bagaimana kalau saya mau tetap menuruti aturan nenek moyang saya. Saya belum pernah ditanyai apakah saya sepakat untuk membayar pajak atau tidak. Lagi pula saya tidak pernah merasakan manfaat negara buat saya. Kalau begitu lebih baik saya memerdekakan diri saja. Toh tanah saya kaya dan saya yakin saya bisa hidup lebih baik kalau saya mengurus tanah saya sendiri, tanpa dikuasai birokrat dari tanah Jawa.

Logika seperti demikian tidak terlalu bisa disalahkan mengingat banyak rakyat Indonesia di pinggiran yang tidak kunjung sejahtera walaupun kita sudah merdeka lebih dari setengah abad. Lalu apa artinya menjadi Indonesia?

*****

Sementara itu di belahan dunia lain angin sebenarnya mulai bertiup. Angin ini baru sepoi-sepoi dan hampir tidak terasa. Di kalangan banyak pemikir, orang sudah mulai gerah dengan ideologi. Ideologi lebih banyak mengundang kekusutan dibandingkan dengan kebaikan. Yang termasuk dalam ideologi di sini adalah agama, paham politik, maupun supremasi ras, yang menganggap apa yang benar bagi dirinya adalah juga benar bagi seluruh dunia. Kecenderungan meninggalkan ideologi ini sebenarnya sudah dimulai sejak Perang Dunia II, yang membuat orang berefleksi bahwa segala macam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata tidak berarti selama manusia masih gontok-gontokan dan saling membunuh karena ideologi. Kondisi sekarang pun tidak lebih baik. Ideologi pasar atau kapitalisme sedang merajai dunia, dan Irak serta Afghanistan (dan mungkin ada negara lain yang akan menyusul) sudah merasakan akibatnya.

Orang mulai berpikir bahwa mestinya ada solusi yang lebih baik. Ideologi sudah saatnya ditinggalkan dan digantikan dengan etika: memperlakukan orang lain dengan baik. Atau dalam satu kalimat singkat dapat digambarkan sebagai aturan emas: Jangan memperlakukan orang lain apa yang tidak ingin orang lain lakukan kepada dirimu. Semua perbedaan kita singkirkan dulu, dan kita pikirkan bagaimana kita bisa hidup bersama dengan damai.

Soekarno muda sebenarnya juga sudah mulai mengarah ke sana. Ia dalam pidato Pancasila di depan BPUPKI, sewaktu menyampaikan pidato tentang dasar negara mengungkapkan kurang lebih seperti ini: dasar negara kita kalau mau disederhanakan dapat kita sebut Ekasila, satu sila, yaitu gotong royong. Gotong royong ini sebenarnya bukanlah sebuah ideologi. Ia adalah sebuah pernyataan bahwa kita, yang berbeda-beda ini bisa hidup damai dan bergotong royong. Segala macam tatanan hidup lainnya bisa dibicarakan dengan kepada dingin di meja. Tidak ada satu golongan pun yang lebih benar dari golongan yang lain. Tidak ada mayoritas yang menindas minoritas karena semua suara harus didengar.

Kita tidak butuh semacam ideologi untuk bisa hidup bersama, baik itu atas dasar agama tertentu atau paham politik tertentu. Yang kita butuhkan hanyalah kesepakatan untuk hidup bersama. Kalau pun kita butuh dasar negara untuk hidup bersama, dasarnya hanya satu, yaitu kesejahteraan bersama, sebuah commonwealth. Kesepakatan ini bersifat ad hoc dan bisa terus diperbaharui sesuai dengan keadaan. Ia tidak mengikat mutlak. Ia berubah sesuai dengan jaman. Ia tidaklah sakral sehingga perlu dibela dengan darah. Tapi ia sakral karena kita semua menyetujuinya, paling tidak sampai ada kesepakatan yang baru. Kenapa kita butuh itu? Karena dengan bekerja sama kita bisa lebih baik daripada kalau kita berusaha sendiri-sendiri saja.

Kalau Sumpah Pemuda mau kita perbarui mungkin bunyinya akan seperti ini: KAMI PUTRA PUTRI INDONESIA, BERSUMPAH, AKAN HIDUP BERSAMA DENGAN DAMAI, UNTUK KESEJAHTERAAN BERSAMA, WALAUPUN KAMI BERBEDA BANGSA, AGAMA DAN BAHASA. Dirgahayu Sumpah Pemuda.